Harta Karun Untuk Semua
Cerpen
Dewi Lestari
Hari
ini kiriman buku yang saya pesan dari Amazon.com datang. Ada satu buku yang
langsung saya sambar dan baca seketika. Judulnya: “Stuff The Secret
Lives of Everyday Things“. Buku itu tipis, hanya 86 halaman, tapi informasi
di dalamnya bercerita tentang perjalanan ribuan mil dari mana barang-barang
kita berasal dan ke mana barang-barang kita berakhir.
Dimulai
sejak SD, saat saya pertama kali tahu bahwa plastik memakan waktu ratusan tahun
untuk musnah, saya sering merenung: orang gila mana yang mencipta sesuatu yang
tak musnah ratusan tahun tapi masa penggunaannya hanya dalam skala jam bahkan
detik? Bungkus permen yang hanya bertahan sepuluh detik di tangan, lalu masuk
tong sampah, ditimbun di tanah dan baru hancur setelah si pemakan permen
menjadi fosil. Sukar membayangkan apa jadinya hidup ini tanpa plastik, tanpa
cat, tanpa deterjen, tanpa karet, tanpa mesin, tanpa bensin, tanpa fashion.
Dan sebagai konsumen dalam sistem
perdagangan modern, sejak kita lahir rantai pengetahuan tentang awal dan akhir
dari segala sesuatu yang kita konsumsi telah diputus. Kita tidak tahu dan tidak
dilatih untuk mau tahu ke mana kemasan styrofoam yang membungkus nasi rames
kita pergi, berapa banyak pohon yang ditebang untuk koran yang kita baca
setengah jam saja, beban polutan yang diemban baju-baju semusim yang kita beli
membabi-buta. Untuk aktivitas harian yang kita lewatkan tanpa berpikir, yang
terasa wajar-wajar saja, pernahkah kita berhitung bahwa untuk hidup 24 jam kita
bisa menghabiskan sumber daya Bumi ini berkali-kali lipat berat tubuh kita
sendiri? Untuk menyiram 200 cc air kencing, kita memakai 3 liter air. Untuk
mencuci secangkir kopi, kita butuh air sebaskom. Untuk memproduksi satu lapis
daging burger yang mengenyangkan perut setengah hari dibutuhkan sekitar 2,400
liter air. Produksi satu set PC seberat 24 kg yang parkir di atas meja kerja
kita menghasilkan 62 kg limbah, memakai 27,594 liter air, dan mengonsumsi
listrik 2,300 kwh. Bagaimana dengan chip kecil yang bekerja di dalamnya? Limbah
yang dihasilkan untuk memproduksinya 4,500 kali lipat lebih berat daripada
berat chip itu sendiri.
Mengetahui
mata rantai tersembunyi ini bisa menimbulkan berbagai reaksi. Kita bisa
frustrasi karena terjepit dalam ketergantungan gaya hidup yang tak bisa
dikompromi, kita bisa juga semakin apatis karena tidak mau pusing. Yang jelas,
sesungguhnya ini adalah pengetahuan yang sudah saatnya dibuka. Pelajaran Ilmu
Alam, selain belajar penampang daun dan membedah jantung katak, dapat dibuat
lebih empiris dengan mempelajari hulu dan hilir dari benda-benda yang kita
konsumsi, sehingga tanggung jawab akan alam ini telah disosialisasikan sejak
kecil.
Pernahkah
kita merenung, saat kita memasuki gedung FO empat lantai, Pasar Baru, atau
berjalanjalan ke Gasibu pada hari Minggu di mana ada lautan PKL: tidakkah semua
baju dan barang-barang itu mampu memenuhi kecukupan penduduk satu kota? Tapi
kenapa barang-barang ini tidak ada habisnya diproduksi? Setiap hari selalu ada
jubelan pakaian baru yang menggelontori pasar. Pernahkah kita merenung, saat
kita memasuki hypermarket dan melihat ratusan macam biskuit, ratusan varian mie
instan, dan ratusan merk sabun: haruskah kita memiliki pilihan sebanyak itu?
Pernahkah kita merenung, apa yang kita inginkan sesungguhnya jauh melebihi apa
yang kita butuhkan? Atas nama kecukupan, satu manusia bisa hidup dengan lima
pasang baju dalam setahun, bahkan lebih. Atas nama fashion, jumlah itu menjadi
tidak berbatas. Atas nama kebutuhan, satu manusia bisa hidup dengan beberapa pilihan
panganan dalam sehari. Atas nama selera dan nafsu, seisi Bumi tidak akan
sanggup memenuhi keinginan satu manusia. Permasalahan ini memang bisa dilihat
dari berbagai kacamata.
Seorang
ekonom mungkin akan menyalahkan sistem kapitalisme dan globalisasi. Seorang
sosialis akan mengatakan ini masalah distribusi dan pemerataan. Tapi jika kita
runut, satu demi satu, bahwa Bumi adalah kumpulan negara, negara adalah
kumpulan kelompok, dan kelompok adalah kumpulan individu, permasalahan ini akan
kembali ke pangkuan kita. Dan kesadaran serta kemauan kitalah yang pada
akhirnya akan memungkinkan sebuah perubahan sejati. Belum pernah dalam sejarah
kemanusiaan keputusan harian kita menjadi sangat menentukan.
Tidak
perlu menunggu Amerika menyepakati protokol Kyoto, tidak perlu juga menunggu
penjarah hutan tertangkap, setiap langkah kita—memilih merk, kuantitas, tempat,
gaya hidup adalah pilihan politis dan ekologis yang menentukan masa depan seisi
Bumi. Saya belum bisa mengorbankan komputer karena itulah instrumen saya bekerja,
tapi saya bisa lebih awas dengan jam penggunaan dan mematikannya jika tidak
perlu. Saya belum bisa mengorbankan kebutuhan akan informasi, tapi saya bisa
memilih membaca berita lewat internet atau membaca koran di tempat publik
ketimbang berlangganan langsung. Bagaimana dengan fashion? Di dunia citra ini,
dengan profesi yang mengharuskan banyak tampil di muka publik, saya pun belum
bisa mengorbankan keperluan fashion (baca: membeli busana lebih sering dari
yang dibutuhkan), tapi saya bisa membuat komitmen dengan lemari pakaian, yakni
baju yang saya miliki tidak boleh melebihi kapasitas lemari saya. Jika lebih,
maka harus ada yang keluar.
Dan
setiap beberapa bulan saya dihadapkan pada kenyataan bahwa ada baju yang tidak
saya pakai setahun lebih atau baju yang cuma sekali dipakai dan tak pernah
lagi. Bukan cuma baju, ada juga buku, pernik rumah, alat dapur, bahkan sabun
dan sampo yang utuh tak disentuh. Alhasil, dalam rumah saya ada semacam
peti-peti ‘harta karun’, yang berisikan barang-barang yang harus keluar dari
peredaran, karena jika dipertahankan hanya menjadi kelebihan tanpa lagi unsur
manfaat. Harta karun ini lantas harus dicarikan lagi outlet untuk penyaluran.
Pada waktu perayaan 17 Agustus, di kompleks saya diselenggarakan bazaar. Para
warga menyewa stand untuk berjualan. Saya ikut berpartisipasi, dan sayalah
satu-satunya penjual barang bekas di antara penjual barang-baru baru. Karena
bukan demi cari untung, barang-barang itu saya lepas dengan harga sangat murah.
Yang membeli bukan cuma warga kompleks, tapi juga dari kampung sekitar. Hari
pertama, saya sudah kehabisan dagangan. Terpaksa saya mengontak saudara-saudara
saya yang barangkali juga punya barang bekas untuk disalurkan. Sama dengan
saya, mereka pun punya timbunan harta karun yang entah harus diapakan.
Stand
saya menjadi salah satu stand paling laris selama bazaar berlangsung. Dan kakak
saya terkaget-kaget dengan penghasilan yang ia dapat dari tumpukan barang yang
sudah dianggap sampah. Berjualan di bazaar tentu bukan satu-satunya jalan, ada
aneka cara kreatif lain untuk memanfaatkan harta karun kita, termasuk juga
disumbangkan. Namun yang lebih sukar adalah memulai membuat komitmen-komitmen
pembatasan diri. Berkomitmen dengan rak buku, dengan lemari pakaian, dengan rak
kamar mandi, dengan laci dapur, dan pada intinya… dengan diri sendiri.
Siapkah
kita menentukan batasan dan berjalan dalam koridor itu? Dan, yang lebih susah
lagi, adalah pengendalian diri dari awal bersua aneka pilihan yang membombardir
kita setiap hari, lalu sadar dan mawas akan rantai sebab-akibat yang menyertai
pilihan kita. Membuka diri untuk info dan pengetahuan ekologi adalah salah satu
cara pembekalan yang baik. Walaupun sekilas tampak merepotkan dan bikin
frustrasi, tapi kantong kresek yang kita buang tadi pagi tidak akan hilang oleh
sihir, dan hamburger yang kita makan tidak dipetik dari pohon. Rantai yang
menyertai barang-barang itu tidak akan hilang hanya karena kita menolak tahu.
Banyak orang yang berkomentar pada saya, “Aduh, Wi. Kamu bikin hidup tambah
susah saja.” Dan mereka benar. Hidup ini tak mudah.
Untuk
itu kita justru harus belajar menghargai setiap jengkalnya. Memilih hidup yang
lebih sederhana, hidup dengan tempo yang lebih pelan, hidup dengan pengasahan
kesadaran, tak hanya membantu kita lebih eling dan terkendali, tapi juga
membantu Bumi ini dan jutaan manusia yang dijadikan alas kaki oleh industri
demi pemenuhan nafsu konsumsi kita sendiri.
Lingkaran setan? Ya. Tapi tidak
berarti kita tak sanggup berubah. Selama ini kita adalah pembeli yang berlari.
Dalam kecepatan tinggi kita bertransaksi, sabet sana sabet sini, tanpa tahu
lagi apa yang sesungguhnya kita cari. Berhentilah sejenak. Marilah kita
berjalan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar