KISAH NABI YUSUF
Nabi
Yusuf adalah putera ke tujuh daripada dua belas putera-puteri Nabi Ya'qub. Ia
dengan adiknya yang bernama Benyamin adalah beribukan Rahil, saudara sepupu
Nabi Ya'qub. Ia dikurniakan Allah rupa yang bagus, paras tampan dan tubuh yang tegap
yang menjadikan idaman setiap wanita dan kenangan gadis-gadis remaja. Ia adalah
anak yang dimanjakan oleh ayahnya, lebih disayang dan dicintai dibandingkan
dengan saudara-saudaranya yang lain, terutamanya setelah ditinggalkan iaitu
wafatnya ibu kandungnya Rahil semasa ia masih berusia dua belas tahun.
Perlakuan
yang diskriminatif dari Nabi Ya'qub terhadap anak-anaknya telah menimbulkan
rasa iri-hati dan dengki di antara saudara-saudara Yusuf yang lain, yang
merasakan bahawa mereka dianak-tirikan oleh ayahnya yang tidak adil sesama
anak, memanjakan Yusuf lebih daripada yang lain.
Rasa
jengkel mereka terhadap kepada ayahnya dan iri-hati terhadap Yusuf
membangkitkan rasa setia kawan antara saudara-saudara Yusuf, persatuan dan rasa
persaudaraan yang akrab di antara mereka.
Banyak
ajaran dan ibrah yang dapat dipetik dari Kisah Nabi Yusuf yang penuh dengan
pengalaman hidup yang kontriversi itu. Di antaranya ialah :~
Bahwasanya penderitaan seseorang yang
nampaknya merupakan suatu musibah dan bencana, pd hakikatnya dalam banyak hal
bahkan merupakan rahmat dan barakah yang masih terselubung bagi
penderitaannya.Karena selalunya bahwa penderitaan yang di anggapkan itu suatu
musibah adalah menjadi permulaan dari kebahagiaan dan menjadi kesejahteraan
yang tidak diduga semula. Demikianlah apa yang telah dialami oleh Nabi Yusuf
dengan pelemparan dirinya ke dalam sebuah perigi oleh saudara-saudaranya
sendiri, disusuli dengan pemenjaraannya oleh para penguasa Mesir. Semuanya itu
merupakan jalan yang harus ditempuh oleh beliau untuk mencapai puncak kebesaran
dan kemuliaan sebagai nabi serta tngkat hidup yang mewah dan sejahtera sebagai
seorang penguasa dalam sebuah kearajaan yang besar yang dengan kekuasaannya
sebagai wakil raja, dapat menghimpunkan kembali seluruh anggota keluarganya
setelah sekian absolutist berpisah dan bercerai-berai.
Maka seseorang mukmin yang percaya
kepada takdir, tidak sepatutnya merasa kecewa dan berkecil hati bila tertimpa
sesuatu musibah dalam harta kekayaannya, kesihatan jasmaninya atau keadaan
keluarganya. Ia harus menerima percubaan Allah itu dengan penuh kesabaran dan
tawakkal seraya memohon kepada Yang Maha Kuasa agar melindunginya dan
mengampuni segala dosanya, kalau-kalau musibah yang ditimpakan kepadanya itu
merupakan peringatan dari Allah kepadanya untuk bertaubat.
Dan sebaliknya bila seseorang mukmin
memperoleh nikmat dan kurinia Allah berupa perluasan rezeki, kesempurnaan
kesihatan dan kesejahteraan keluarga, ia tidak sepatutnya memperlihatkan
sukacita dan kegembiraan yang berlebih-lebihan. Ia bahkan harus bersyukur
kepada Allah dengan melipat gandakan amal solehnya sambil menyedarkan diri
bahwa apa yang diperolehnya itu kadang-kadang boleh tercabut kembali bila Allah
menghendakinya. Lihatlah sebagaimana teladan Nabi Yusuf yang telah kehilangan
iman dan tawakkalnya kepada Allah sewaktu berada seorang diri di dalam perigi
mahupun sewaktu merengkok di dalam penjara, demikian pula sewaktu dia berada
dalam suasana kebesarannya sebagai Penguasa Kerajaan Mesir, ia tidak disilaukan
oleh kenikmatan duniawinya dan kekuasaan besar yang berada di tangannya. Dalam
kedua keadaan itu ia tidak melupakan harapan, syukru dan pujaan kepada Allah
dan sedar bahwa dirinya sebagai makhluk yang lemah tidak berkuasa
mempertahankan segala kenikmatan yang diperolehnya atau menghindarkan diri dari
musibah dan penderitaan yang Allah limpahkan kepadanya. Ia mengembalikan
semuanya itu kepada takdir dan kehendak Allah Yang Maha Kuasa
Nabi Yusuf telah memberi contoh dan
teladan bagi kemurnian jiwanya dan keteguhan hatinya tatkala menghadapi godaan
Zulaikha, isteri ketua Polis Mesir, majikannya. Ia diajak berbuat maksiat oleh
Zulaikha seorang isteri yang masih muda belia, cantik dan berpengaruh, sedang
ia sendiri berada dalam puncak kemudaannya, di backbone biasanya nafsu berahi
seseorang masih berada di tingkat puncaknya. Akan tetapi ia dapat menguasai
dirinya dan dapat mengawal nafsu kemudaannya, menolak ajak isteri yang menjadi
majikannya itu, karena ia takut kepada Allah dan tidak mahu mengkhianati
majikannya yang telah berbuat budi kepadanya dirinya dan memperlakukannya
seolah-olah anggota keluarganya sendiri. Sebagai akibat penolakannnya itu ia
rela dipenjarakan demi mempertahankan keluhuran budinya, keteguhan imannya dan
kemurnian jiwanya.
Nabi Yusuf memberi contoh tentang sifat seorang kesatria yang enggan dikeluarkan dari penjara sebelum persoalannya dengan Zulaikha dijernihkan. Ia tidak mahu dikeluarkan dari penjara kerana memperoleh pengampunan dari Raja, tetapi ia ingin dikeluarkan sebagai orang yang bersih, suci dan tidak berdosa. Karenanya ia sebelum menerima undangan raja kepadanya untuk datang ke istana, ia menuntut agar diselidik lebih dahulu tuduhan-tuduhan palsu dan fitnahan-fitnahan yang dilekatkan orang kepada dirinya dan dijadikannya alasan untuk memenjarakannya. Terpaksalah raja Mesir yang memerlukan Yusuf sebagai penasihatnya, memerintahkan pengusutan kembali peristiwa Yusuf dengan Zulaikha yang akhirnya dengan terungkapnya kejadian yang sebenar, di backbone mereka bersalah dan memfitnah mengakui bahawa Yusuf adalah seorang yang bersih suci dan tidak berdosa dan bahwa apa yang dituduhkan kepadanya itu adalah palsu belaka
Suatu sifat utama pembawaan jiwa besar
Nabi Yusuf menonjol tatkala ia menerima saudara-saudaranya yang datang ke Mesir
untuk memperolehi hak pembelian gandum dari gudang pemerintah karajaan Mesir.
Nabi Yusuf pada masa itu, kalau ia mahu ia dapat melakukan pembalasan terhadap
saudara-saudaranya yang telah melemparkannya ke dalam sebuah perigi dan
memisahkannya dari ayahnya yang sangat dicintai. Namun sebaliknya ia bahkan
menerima mereka dengan ramah-tamah dan melayani keperluan mereka dengan penuh
kasih sayang, seolah-olah tidak pernah terjadi apa yang telah dialami akibat
tindakan saudara-saudaranya yang kejam dan tidak berperikemanusiaan.
Demikianlah Nabi Yusuf dengan jiwa besarnya telah melupakan semua penderitaan
pahit yang telah dialaminya akibat tindakan saudara-saudaranya itu dengan
memberi pengampunan kepada mereka, padahal ia berada dalam keadaan yang
memungkinkannya melakukan pembalasan yang setimpal. Dan pengampunan yang
demikian itulah yang akan berkesan kepada orang yang diampuni dan yang telah
dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya dalam beberapa ayat Al-Quran dan beberapa
hadis nabawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar