MAKALAH DAN SEJARAH MAYONG JEPARA
CERITA MASAYARAKAT DARI MAYONG JEPARA RORO AYUCERITA MASAYARAKAT DARI MAYON MAS SEMANGKIN
1. PENDAHULUAN
Roro Ayu Mas Semangkin
adalah puteri dari Sultan Prawoto yang ke-4. Sewaktu kecil di asuh oleh bibinya
Ratu Kalinyamat. Setelah dewasa dijadikan sebagai “ garwo selir” dari
“Panembahan Senopati”/ Sutowijoyo dari Kerajaan Mataram. Roro Ayu Mas Semangkin
kembali ke Jepara untuk menumpas “pagebluk” yang disebabkan oleh kerusuhan
dan
banyaknya perampokan di wilayah desa Mayong. Beliau menjadi panglima perang mendampingi Lurah Tamtomo Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan. Atas keahlian dan ketangkasan dari Roro Ayu Mas Semangkin kerusuhan tersebut dapat dipadamkan. Setelah itu Roro Ayu Semangkin tidak mau kembali ke Mataram dan mendirikan pesanggraha.
Bersama Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan dan Ki Datuk Singorojo.
Kanjeng Ibu Mas Semangkin adalah sosok seorang tokoh yang sangat berjasa, khusunya bagi warga masyarakat Desa Mayong Lor mengingat beliau adalah cikal bakal, dan pahlawan putri. Perilaku Ibu Mas Semangkin patut disuri tauladani bagi seluruh pemimpin pada seluruh lapisan yang ada diwilayah Kabupaten Jepara. Ketauladanan yang dapat dipetik adalah sifat kesederhanaan, kesehajaan, dan kedekatannya kepada kawula alit. Hal ini ditunjukknannya dalam kehidupan sehari-hari walaupun seorang isteri raja Mataram namun beliau rela mati untuk meninggalkan kemewahan duniawi menuju pengabdian kepada masyarakat kecil.
Dengan mengungkap dan menyajikan cerita dan atau sejarah singkat seorang tokoh teladan, kiranya akan dapat menumbuhkan rasa solidaritas yang tinggi pada diri warga masyarakat untuk dapat memahami dan menyadari arti suatu perjuangan hidup demi kemaslahatan orang banyak. Sehingga keberadaan tokoh ini akan tetap dikenang oleh masyarakat dan muncul sikap untuk turut serta hanguri-uri berbagai peninggalan dan makamnya sebagai salah satu bentuk perwujutan dalam upaya melestarikan adapt dan tradisi masyarakat melalui perlindungan, pemeliharaan dan restorasi termasuk didalamnya acara “buka luwur” yang diadakan disetiap tanggal 10 Muharram.
banyaknya perampokan di wilayah desa Mayong. Beliau menjadi panglima perang mendampingi Lurah Tamtomo Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan. Atas keahlian dan ketangkasan dari Roro Ayu Mas Semangkin kerusuhan tersebut dapat dipadamkan. Setelah itu Roro Ayu Semangkin tidak mau kembali ke Mataram dan mendirikan pesanggraha.
Bersama Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan dan Ki Datuk Singorojo.
Kanjeng Ibu Mas Semangkin adalah sosok seorang tokoh yang sangat berjasa, khusunya bagi warga masyarakat Desa Mayong Lor mengingat beliau adalah cikal bakal, dan pahlawan putri. Perilaku Ibu Mas Semangkin patut disuri tauladani bagi seluruh pemimpin pada seluruh lapisan yang ada diwilayah Kabupaten Jepara. Ketauladanan yang dapat dipetik adalah sifat kesederhanaan, kesehajaan, dan kedekatannya kepada kawula alit. Hal ini ditunjukknannya dalam kehidupan sehari-hari walaupun seorang isteri raja Mataram namun beliau rela mati untuk meninggalkan kemewahan duniawi menuju pengabdian kepada masyarakat kecil.
Dengan mengungkap dan menyajikan cerita dan atau sejarah singkat seorang tokoh teladan, kiranya akan dapat menumbuhkan rasa solidaritas yang tinggi pada diri warga masyarakat untuk dapat memahami dan menyadari arti suatu perjuangan hidup demi kemaslahatan orang banyak. Sehingga keberadaan tokoh ini akan tetap dikenang oleh masyarakat dan muncul sikap untuk turut serta hanguri-uri berbagai peninggalan dan makamnya sebagai salah satu bentuk perwujutan dalam upaya melestarikan adapt dan tradisi masyarakat melalui perlindungan, pemeliharaan dan restorasi termasuk didalamnya acara “buka luwur” yang diadakan disetiap tanggal 10 Muharram.
2. KELAHIRAN RORO AYU
MAS SEMANGKIN
Roro Ayu Mas Semangkin,
yang kemudian lebih dikenal Ibu Mas atau bergelar Ratu Mas Kagaluhan adalah
puteri kedua dari Pangeran Haryo Bagus Mukmin (Sunan Prawoto) cucu dari Sunan
Trenggono dan cicit dari Raden Patah. Sunan Prawoto adalah cucu dari Raden
Patah putra dari Sultan Trenggono ( Raja ketiga dari Demak Bintoro) dengan Rr.
Ayu pembayun putri Sunan Kalijaga yang dikaruniai sepuluh anak. Sedangkan
Pangeran Haryo Bagus Mukmin memiliki keturunan tiga orang anak yakni P.Haryo
Panggiri (Pangeran Madepandan) yang bergelar Sultan Ngawantipura, Rr. Ayu Mas
Semangkin dan Rr. Ayu Mas Prihatin.
Pada saat kelahiran Rr.
Ayu Mas Semangkin di Kerajaan Demak Bintoro sedang terjadi kemelut politik
disebabkan wafatnya Sultan Trenggono (1546 M). Suksesi pergantian kepemimpinan
pasca wafatnya Sultan Trenggono tidak dapat berjalan mulus dikarenakan terjadi
konflik di Kerajaan Demak Bintoro., Faktor penyebab konflik dari intern (dalam
kerajaan) dan factor ekstern (perbedaan pandangan dari para wali sembilan
tentang calon pengganti Sultan Trenggono).
Konflik intern Kerajaan Demak terjadi karena adanya rasa dendam berebut kekuasaan dari keturunan Pangeran Sedo Ing Lepen yang dibunuh oleh Sunan Prawoto (Putera Sulung Sultan Trenggono) ternyata meninggalkan duri dalam hati keturunan Pangeran Sekar Sedo Ing Lepen, puteranya yang bernama Arya Penangsang merasa lebih berhak menduduki tahta kerajaan, sebab dia beranggapan bahwa yang menduduki kursi mahkota tersebut adalah ayahnya, bukan Sultan Trenggono karena Pangeran Sekar adalah kakak dari Sultan Trenggono dan adik dari Patih Unus atau Pangeran Sabrang Lor (Sultan Syah Alam Akbar II) yang memerintah tahun 1518 – 1521 M. Atas dasar inilah Arya Penangsang berusaha untuk merebut dan menduduki tahta kerajaan Demak. Sedangkan faktor ekstern yaitu munculnya aksi saling mendukung dari para wali yang memiliki calon-calon pengganti dari Sultan Trenggono turut mewarnai situasi politik di dalam kerajaan.
Dalam buku Babad Demak disebutkan bahwa Sunan Giri tetap mencalonkan Sunan Prawoto untuk menjadi Sultan Demak tetapi Sunan Prawoto sendri telah tercemar pribadinya karena tertuduh membunuh Pangeran Sekar Sedo Ing Lepen. Sedangkan suara Sunan Kudus lain lagi, beliau mencalonkan Arya Penangsang (Adipati Jipang), karena Arya Penangsang adalah pewaris (keturunan) langsung Sultan Demak dari garis laki-laki yang tertua, kecuali itu Arya Penangsang adalah orang yang mempunyai sikap kepribadian yang teguh dan pemberani.
Sunan Kalijaga beliau mencalonkan Hadiwijaya (Adipati Pajang) atau sering disebut juga dengan nama “ Joko Tingkir / Maskarebet”. Joko Tingkir adalah menantu Sultan Trenggono. Sikap pencalonan Sunan Kalijaga terhadap Pangeran Hadiwijaya disertai dengan alasan bahwa jika yang tampil Pangeran Hadiwijaya, maka pusat kesultanan Demak Bintoro akan dapat dipindahkan ke Pajang, sebab apabila masih di Demak, agama Islam kurang berkembang, sebaliknya akan lebih berkembang pesat apabila pusat kesultanan itu berada di Pedalaman (di Pajang).
Sikap dan pendapat dari Sunan Kalijaga ini tampaknya kurang disetujui oleh Sunan Kudus, karena apabila pusat kerajaan dipindahkan di pedalaman (Pajang) maka sangat dikhawatirkan ajaran Islam yang mulia, terutama menyangkut bidang Tasawuf, besar kemungkinannya bercampur dengan ajaran “mistik” atau Klenik sedangkan Sunan Kudus sedang mengajarkan ajarannya “Wuluang Reh” / penyerahan. Dari pendapat ini menunjukkan bahwa Sunan Kudus tidak setuju dengan sikap dan pendapat Sunan Kalijaga yang mencalonkan Hadiwijaya sebagai pengganti dari Sultan Trenggono.
Konflik intern Kerajaan Demak terjadi karena adanya rasa dendam berebut kekuasaan dari keturunan Pangeran Sedo Ing Lepen yang dibunuh oleh Sunan Prawoto (Putera Sulung Sultan Trenggono) ternyata meninggalkan duri dalam hati keturunan Pangeran Sekar Sedo Ing Lepen, puteranya yang bernama Arya Penangsang merasa lebih berhak menduduki tahta kerajaan, sebab dia beranggapan bahwa yang menduduki kursi mahkota tersebut adalah ayahnya, bukan Sultan Trenggono karena Pangeran Sekar adalah kakak dari Sultan Trenggono dan adik dari Patih Unus atau Pangeran Sabrang Lor (Sultan Syah Alam Akbar II) yang memerintah tahun 1518 – 1521 M. Atas dasar inilah Arya Penangsang berusaha untuk merebut dan menduduki tahta kerajaan Demak. Sedangkan faktor ekstern yaitu munculnya aksi saling mendukung dari para wali yang memiliki calon-calon pengganti dari Sultan Trenggono turut mewarnai situasi politik di dalam kerajaan.
Dalam buku Babad Demak disebutkan bahwa Sunan Giri tetap mencalonkan Sunan Prawoto untuk menjadi Sultan Demak tetapi Sunan Prawoto sendri telah tercemar pribadinya karena tertuduh membunuh Pangeran Sekar Sedo Ing Lepen. Sedangkan suara Sunan Kudus lain lagi, beliau mencalonkan Arya Penangsang (Adipati Jipang), karena Arya Penangsang adalah pewaris (keturunan) langsung Sultan Demak dari garis laki-laki yang tertua, kecuali itu Arya Penangsang adalah orang yang mempunyai sikap kepribadian yang teguh dan pemberani.
Sunan Kalijaga beliau mencalonkan Hadiwijaya (Adipati Pajang) atau sering disebut juga dengan nama “ Joko Tingkir / Maskarebet”. Joko Tingkir adalah menantu Sultan Trenggono. Sikap pencalonan Sunan Kalijaga terhadap Pangeran Hadiwijaya disertai dengan alasan bahwa jika yang tampil Pangeran Hadiwijaya, maka pusat kesultanan Demak Bintoro akan dapat dipindahkan ke Pajang, sebab apabila masih di Demak, agama Islam kurang berkembang, sebaliknya akan lebih berkembang pesat apabila pusat kesultanan itu berada di Pedalaman (di Pajang).
Sikap dan pendapat dari Sunan Kalijaga ini tampaknya kurang disetujui oleh Sunan Kudus, karena apabila pusat kerajaan dipindahkan di pedalaman (Pajang) maka sangat dikhawatirkan ajaran Islam yang mulia, terutama menyangkut bidang Tasawuf, besar kemungkinannya bercampur dengan ajaran “mistik” atau Klenik sedangkan Sunan Kudus sedang mengajarkan ajarannya “Wuluang Reh” / penyerahan. Dari pendapat ini menunjukkan bahwa Sunan Kudus tidak setuju dengan sikap dan pendapat Sunan Kalijaga yang mencalonkan Hadiwijaya sebagai pengganti dari Sultan Trenggono.
Situasi politik semakin
meruncing dan tambah memanas, sehingga Arya Penangsang mengambil sikap, karena
merasa dialah yang lebih berhak menduduki tahta kerajaan Demak Bintoro, maka
dengan gerak cepat terlebih dahulu menyingkirkan Sunan Prawoto dengan
pertimbangan, Sunan Prawoto lah yang membunuh ayahnya, kedua dialah yang
menjadi saingan berat dalam perebutan kekuasaan itu, akhirnya Sunan Prawoto
mati terbunuh beserta isterinya oleh budak suruhan Arya Penangsang / “Soreng
Pati” yang bernama “Rungkut”, pada tahun 1546. Setelah Sunan Prawoto wafat
target berikutnya Joko Tingkir menantu dari Sulltan Trenggono, karena dianggap
berambisi untuk menduduki tahta dari Kerajaan Demak.
Situasi politikyang
kian meruncing dan memanas menjadi suasana semakin tidak menentu. Prahara
perang saudara ini disebabkan oleh api dendam Arya Penangsang yang berhasrat
untuk membalas dendam atas kematian ayahandanya dan ambisi menduduki tahta
kerajaan Demak Bintoro yang membuat keselamatan jiwa dari keturunan Sunan
Prawoto termasuk jiwa Rr. Ayu Semangkin.
Pada waktu Rr. Ayu Semangkin dilahirkan kerajaan dalam suasana penuh ketegangan sehingga ia diberi gelar ‘Ratu Mas Kagaluhan”, yang artinya “galau / was-was. Sunan Prawoto beserta isterinya merasa “galau” / “cemas” karena jiwanya diancam oleh Arya Penangsang.
Sejak dilahirkan Rr. Ayu Semangkin telah menjadi anak yatim piatu sehingga hidupnya penuh penderitaan. Selain itu jiwa keluarganya terancam oleh para Surengpati / pembunuh bayaran dari Arya Penangsang (Aryo Jipang). Keadaan inilah yang menghantui ketentraman keluarga mendiang Sunan Prawoto.
Pada waktu Rr. Ayu Semangkin dilahirkan kerajaan dalam suasana penuh ketegangan sehingga ia diberi gelar ‘Ratu Mas Kagaluhan”, yang artinya “galau / was-was. Sunan Prawoto beserta isterinya merasa “galau” / “cemas” karena jiwanya diancam oleh Arya Penangsang.
Sejak dilahirkan Rr. Ayu Semangkin telah menjadi anak yatim piatu sehingga hidupnya penuh penderitaan. Selain itu jiwa keluarganya terancam oleh para Surengpati / pembunuh bayaran dari Arya Penangsang (Aryo Jipang). Keadaan inilah yang menghantui ketentraman keluarga mendiang Sunan Prawoto.
3. MENJADI PUTRI ANGKAT
RATU KALINYAMAT
Setelah Sunan Prawoto
dan isterinya wafat dibunuh oleh budak suruhan Arya Penangsang yang bernama
“Rungkut” kehidupan keluarganya tidak tentram karena selalu mendapatkan ancaman
dan teror dari para pengikut Arya Penangsang sehingga akan mengganggu
keselamatan jiwanya. Selain itu suasana politik yang memanas menyebabkan Ratu
Kalinyamat dan Pangeran Hadlirin berusaha untuk menyelamatkan keluarga Sunan
Prawoto yang tidak lain kakak kandungnya.
Maka Pangeran Haryo Panggiri, Ratu Prihatin dan Rr. Ayu mas Semangkin berusaha dilindungi dan diasuh agar jiwanya selamat. Sedangkan Rr. Ayu Mas Semangkin dijadikan sebagai anak angkat Ratu Kalinyamat dan dipindahkan dari Prawoto ke Jepara yaitu Keraton Kalinyamatan (lokasinya di sekitar kawasan pabrik padi Bonjot yang sekarang digunakan sebagai gudang penampungan pupuk pertanian. Letak lokasinya tersebut berjarak kurang lebih satu kilometer sebelah utara dari jalan pertigaan masjid Purwogondo yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Kalinyamatan).
Maka Pangeran Haryo Panggiri, Ratu Prihatin dan Rr. Ayu mas Semangkin berusaha dilindungi dan diasuh agar jiwanya selamat. Sedangkan Rr. Ayu Mas Semangkin dijadikan sebagai anak angkat Ratu Kalinyamat dan dipindahkan dari Prawoto ke Jepara yaitu Keraton Kalinyamatan (lokasinya di sekitar kawasan pabrik padi Bonjot yang sekarang digunakan sebagai gudang penampungan pupuk pertanian. Letak lokasinya tersebut berjarak kurang lebih satu kilometer sebelah utara dari jalan pertigaan masjid Purwogondo yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Kalinyamatan).
Salah satu prajurit
yang turut di gladi perang adalah putri angkatnya sendiri yaitu Rr. Ayu
Semangkin dan Rr. Ayu Prihatin. Rr. Ayu Semangkin selalu digladi oleh para
tamtama kerajaan hingga memiliki oleh kanuragan cukup tinggi tanpa pilih
tanding. Rr. Ayu Semangkin yang telah tumbuh menjadi seorang dewasa sangat giat
berlatih dan tekun belajar dibawah bimbingan bibinya Ratu Kalinyamat. Selain
belajar ilmu kanuragan dia juga mempelajari ilmu-ilmu agama Islam serta
ilmu-ilmu batin untuk menempa dirinya. Ilmu kanuragan digunakan untuk
melindungi diri dari musuh terutama dari para pengikut Arya Penangsang.
Motivasi dan semangat yang mambara di hati Rr. Ayu Semangkin karena adanya bara
api dendam kepada para pengikut Arya Penangsang yagn telah membunuh ayahnya.
Ketekunan dan keprigelan Rr. Ayu Semangkin kemudian dijadikan Senopati Putri dari
Kerajaan Jepara. Keadaan ini menyebabkan kerajaan Jepara memperoleh kebesaran
dan mencapai puncak kejayaannya.
Kebesaran kekuasaan
Ratu Kalinyamat dapat diketahui dari sumber sejarah yang ditulis oleh De Coutu
dalam bukunya “Da Asia” menyebutkan “Rainha de Jepara, senhora poderosa e rica”
artinya raja Jepara seorang perempuan yang kaya dan mempunyai kekuasaan besar.
Kekuasaan besar ditunjukkan pada 1550 dan 1574 membantu kerajaan Johor untuk
mengadakan penyerangan terhadap kekuatan Portugis di Malaka. Pada tahun 1550
Ratu Kalinyamat mengirimkan 40 kapal perangnya dan 200 orang prajurit pilihan.
Sedangkan pada tahun 1574 mengirimkan pasukan sebanyak 15.000 orang dengan 300
kapal perang dan 80 buah Jung besar, namun kedua kali penyerangan itu tidak
berhasil dikarenakan strategi perang yang digunakan dapat dipatahkan. Untuk
menyelesaikan masalah perang tersebut maka Ratu Kalinyamat bersedia berunding
dengan Portugis yang hasilnya mengecewakan. Dalam perundingan tersebut Portugis
menuntut untuk menyerahkan enam kapal perangnya dan seluruh amunisinya serta
bahan makanan yang dibawanya.
Kekalahan pasukan Ratu
Kalinyamat membawa kerugian yang sangat besar sehingga akan berdampak
kemunduran bagi kerajaan Kalinyatamatan. Setelah berkuasa cukup lama Ratu
Kalinyamat pulah Kerahmatullah, akan tetapi tidak diketahui tahun kapan beliau
wafat dan peristiwa apa kemangkatan kanjeng ratu ini tidak diketahui secara
pasti. Namun ada sumber yang mengatakan bahwa beliau wafat kira-kira pada tahun
1579 Masehi.
Setelah kemangkatan
Ratu Kalinyamat maka kekuasaan pemerintahan diserahkan kepada putra angkatnya
yang bernama “Pangeran Jepara” yaitu putra Raja Hasanuddin dari Banten, tetapi
banyak terjadi pemberontakan di Pajang. Pada tahun 1578 Kerajaan Pajang runtuh
dan diikuti oleh kerajaan Jepara keruntuhan di tahun 1590 M.
4. MENJADI ISTRI SELIR
SUTOWIJOYO
Setelah Sutowijoyo
berhasil mengalahkan Aryo Penangsang (Adipati Jipang) sesuai janjinya Ratu
Kalinyamat menghadiahkan kedua putri angkatnya Rr.Ayu Mas Semangkin dan Rr. Ayu
Prihatin diperistri oleh Raden Sutowijoyo dan selanjutnya diboyong dari Jepara
ke Pajang. Waktu itu Sutowijoyo menjadi Senopati perang di Kerajaan Pajang.
Pada saat inilah Rr. Ayu Semangkin dan Rr Ayu Prihatin mendalami olah kanuragan
dan mulai tertarik untuk mulai berlatih perang bersama-sama prajurit Pajang Rr.
Mas Semangkin sejak di keraton Kalinyamat dulu, sering berlatih olah kanuragan
dan turut mendampigi Ratu Kalinyamat dalam melatih para prajuritnya. Kebiasaan
itu juga dilakukannya saat mendampingi suaminya Sutowijoyo di arena latihan
maupun di palagan / di tengah-tengah peperangan. Rr Ayu Semangkin dan
Sutowijoyo dikenal sebagai senopati pilih tandingyang sangatditakuti oleh para
musuh-musuhnya.
Setelah sekian lama mengabdi kepada Sultan Hadiwijaya (ayah angkatnya) bersama Rr. Ayu Semangkin di Pajang kemudian terbetik niat untuk menagih janji hadiah yang pernah dijanjikan oleh Sultan Hadiwijaya ketika sayembara barang siapa yang dapat mengalahkan Arya Penangsang maka akan dihadiahi bumi Pati dan hutan Mentaok. Sultan Hadiwijaya baru menepati satu janjinya yakni memberikan hadiah bumi Pati yang kemudian diserahkan kepada Ki Penjawi sedangkan hutan Mentaok tak kunjung diberikan sehingga Ki Juru Mertani dan Sutowijoyo diam-diam meninggalkan istana Pajang untuk membabat hutan Mentaok yang kelak menjadi kerajaan Mataram.
Setelah sekian lama mengabdi kepada Sultan Hadiwijaya (ayah angkatnya) bersama Rr. Ayu Semangkin di Pajang kemudian terbetik niat untuk menagih janji hadiah yang pernah dijanjikan oleh Sultan Hadiwijaya ketika sayembara barang siapa yang dapat mengalahkan Arya Penangsang maka akan dihadiahi bumi Pati dan hutan Mentaok. Sultan Hadiwijaya baru menepati satu janjinya yakni memberikan hadiah bumi Pati yang kemudian diserahkan kepada Ki Penjawi sedangkan hutan Mentaok tak kunjung diberikan sehingga Ki Juru Mertani dan Sutowijoyo diam-diam meninggalkan istana Pajang untuk membabat hutan Mentaok yang kelak menjadi kerajaan Mataram.
Setelah meninggalkan
PajangKi Juru Mertani dan Sutowijoyo kemudian membabat hutan Mentaok dan
mendirikan Pesanggraan di kota Gede dekat Yogyakarta. Sutowijoyo, Ki Ageng
Pemanahan dan Rr. Ayu Semangkin dan Rr Ayu Prihatin beserta para pengikutnya
turut mesanggrah di kota Gede tersebut. Selain itu senopati perang kerajaan
Pajang ini juga ahli spiritual mengadakan interaksi dengan alam gaib penguasa
laut selatan yang bernama “Nyai Loro Kidul”. Beliau bersemedi ditemani Ki Juru
Mertani duduk disebuah batu hitam yang kini dikenal dengan nama batu gilang.
Batu gilang tersebut sebagai tanda bukti bekas telapak kaki dan tempat duduk
yang membekas hingga sekarang. Di atas batu gilang itulah senopati Sutowijoyo
memperoleh pulung kerajaan seingga kelak menjadi raja di tanah jawa.
Pada saat inilah kelak menjadi embrio kesalah pahaman antara Pajang dan Mataram. Kesalahpaaman ini muncul ketika perilaku pembangkangan oleh Senopati Mataram (Raden Ngabehi Loring Pasar) putra dari Ki Ageng Pemanahan (Kyai Gede Mataram), Ia menjadi senopati Mataram menggantikan ayahnya atas perhatian raja Pajang dengan berbagai persyaratan, antara lain berkewajiban menghadap raja Pajang setiap tahun sebagai ukuran kesetiaannya. Namun apa yang terjadi, Senopati(Raden Ngabehi) pada tahun pertama diberi kelonggaran tidak diwajibkan menghadap ke Pajang. Tetapi kelonggaran itu justru disalahgunakan kesempatan. Ia menyuruh rakyat Mataram membuat batu bata guna mendirikan tembok benteng, dan pada tahun berikutnya ia pun tetap tidak menghadap ke Pajang.
Kyai Gede Mataram dalam waktu singkat dapat menjadikan daerahnya sangat maju. Beliau sendiri tidak mengecap hasil usahanya karena meninggal pada tahun 1575 tetapi puteranya yang bernama Sutowijoyo, melanjutkan usaha itu dengan giat. Sutowijoyo dikenal sebagai orang yang gagah berani. Mahir dalam perang dan karena itu nantinya lebih terkenal sebagai Senopati ing Alaga (Panglima perang). Sementara itu di Pajang terjadi perubahan yang sangat besar. Joko Tingkir meninggal pada tahun 1582. Anaknya pangeran Benowo disingkirkan oleh pangeran Pangiri (dari Demak) dan dijadikan Adipati di Jipang. Maka sebagai sultan Pajang kini bertahtalah Arya Pangiri yang melanjutkan daerah Demak.
Pada saat inilah kelak menjadi embrio kesalah pahaman antara Pajang dan Mataram. Kesalahpaaman ini muncul ketika perilaku pembangkangan oleh Senopati Mataram (Raden Ngabehi Loring Pasar) putra dari Ki Ageng Pemanahan (Kyai Gede Mataram), Ia menjadi senopati Mataram menggantikan ayahnya atas perhatian raja Pajang dengan berbagai persyaratan, antara lain berkewajiban menghadap raja Pajang setiap tahun sebagai ukuran kesetiaannya. Namun apa yang terjadi, Senopati(Raden Ngabehi) pada tahun pertama diberi kelonggaran tidak diwajibkan menghadap ke Pajang. Tetapi kelonggaran itu justru disalahgunakan kesempatan. Ia menyuruh rakyat Mataram membuat batu bata guna mendirikan tembok benteng, dan pada tahun berikutnya ia pun tetap tidak menghadap ke Pajang.
Kyai Gede Mataram dalam waktu singkat dapat menjadikan daerahnya sangat maju. Beliau sendiri tidak mengecap hasil usahanya karena meninggal pada tahun 1575 tetapi puteranya yang bernama Sutowijoyo, melanjutkan usaha itu dengan giat. Sutowijoyo dikenal sebagai orang yang gagah berani. Mahir dalam perang dan karena itu nantinya lebih terkenal sebagai Senopati ing Alaga (Panglima perang). Sementara itu di Pajang terjadi perubahan yang sangat besar. Joko Tingkir meninggal pada tahun 1582. Anaknya pangeran Benowo disingkirkan oleh pangeran Pangiri (dari Demak) dan dijadikan Adipati di Jipang. Maka sebagai sultan Pajang kini bertahtalah Arya Pangiri yang melanjutkan daerah Demak.
Sultan baru ini dengan
tindakan-tindakannya yang merugikan rakyat segera menimbulkan rasa tidak senang
di mana-mana. Kenyataan ini merupakan kesempatan yang baik bagi Pangeran Benowo
untuk merebut kembali kekuasaannya. Ia meminta bantuan kepada Senopati dari
Mataram, yang juga menginginkan robohnya Kerajaan Pajang dan sudah terlebih
dahulu mengambil langkah-langkah untuk melepaskan daerahnya dari Pajang itu.
Pajang diserang dari dua jurusan, dan Arya Pangiri menyerah pada Senopati.
Pangeran sendiri tidak sanggup kalau harus menghadapi saudara angkatnya itu,
maka bersedia mengakui kekuasaan Senopati. Keraton Pajang dipindah ke Mataram,
dan berdirilah kerajaan Mataram (1586).
Pengangkatan Senopati
oleh dirinya sendiri menjadi raja Mataram dengan gelar “Panembahan Senopati Ing
Alaga Sayidin Panatagama Kalifatullah”. Bila diartikan “Panembahan yaitu orang
yang disembah / dijunjung tinggi (dihormati). “Senopati” artinya : panglima
perang. “Ing Alaga” artinya : ditengah-tengah palagan / medan pertempuran,
Sayidin Panatagama artinya “kepala agama”, “Kalifatullah” artinya “wakil dari
Allah”.
Setelah pengangkatan
dirinya menjadi raja Mataram mendapat banyak tantangan, lebih-lebih oleh karena
segera menunjukkan politik ekspansinya. Bentrokan pertama terjadi dalam tahun
1586, yaitu dengan Surabaya. Dengan perantaraan Sunan Giri pertumpahan darah
yang lebih hebat dapat dicegah. Surabaya tidak ditundukkan, tetapi bersedia
mengakui kekuasaan Senopati. Dalam tahun itu juga Senopati menghadapi
perlawanan kuat dari Madiun Ponorogo namun dapat segera dipatahkan. Pada tahun
1587 Senopati mampu menggempur Pasuruhan bersama Panarukkan dan pada tahun 1595
menaklukkan Cirebon dan Galuh. Pati dan Demak juga membrontak bahkan tentara
mereka dapat mendekati ibukota Mataram. Tetapi pasukan Senopati yang dipimpin
oleh Rr. Ayu Semangkin, Ki Tanujayan, Ki Brojo Penggingtaan dan keempat perwira
yang dipimpin oleh Tumenggung Sukolilo yang bernama “Surokerto” dapat meredam
pemberontakan.
Setelah perluasan ke Jawa Tengah bagian pesisir utara, Jawa Timur dan Jawa Barat (Cirebon dan Panarukkan) Senopati wafat tahun 1601 dan kemudian dimakamkan di Kota Gede Yogyakarta bersanding dengan Rr. Ayu Prihatin Garwo Selir Sutowijoyo yang dipersembahkan oleh Ratu Kalinyamat ketika dapat mengalahkan Arya Penangsang. Sedangkan Rr. Ayu Semangkin mendirikan Padepokan di Mayong dan mendirikan rumahnya di Mayonglor hingga wafat
Setelah perluasan ke Jawa Tengah bagian pesisir utara, Jawa Timur dan Jawa Barat (Cirebon dan Panarukkan) Senopati wafat tahun 1601 dan kemudian dimakamkan di Kota Gede Yogyakarta bersanding dengan Rr. Ayu Prihatin Garwo Selir Sutowijoyo yang dipersembahkan oleh Ratu Kalinyamat ketika dapat mengalahkan Arya Penangsang. Sedangkan Rr. Ayu Semangkin mendirikan Padepokan di Mayong dan mendirikan rumahnya di Mayonglor hingga wafat
5. BERTINDAK SEBAGAI
SENOPATI PERANG
Pada awal masa
pemerintahan Mataram, sisa-sisa prajurit Jipang yang masih setia kepada Arya
Penangsang, senantiasa mencptakan berbagai bentuk kerusuhan seperti pencurian,
perampokan, pemerkosaan, pembunuhan, serta bentuk-bentuk tindak kejahatan
lainnya. Hal ini mereka lakukan demi menciptakan ketidaktenteraman dan
keresahan bagi masyarakat di Kasultanan Mataram. Daerah kekuasaan kerajaan
Mataram yang seringkali terjadi huru hara yaitu di wilayah Pati, Jepara (lereng
Muria), karena wilayahnya terlalu jauh dari pusat pemerintahan kerajaan
Mataram.
Selain berbagai kerusuhan dan huru-hara juga terjadi di sekitar Mayong, Jepara. Pada permulaan abad 17, Pati Pesantenan yang dipimpin oleh Bupati Wasis Joyo Kusumo (Bupati Pragola Pati II) bermaksud membangkang mengadakan “kraman” dari kekuasaan Sultan di Mataram. Pembangkangan yang dilakukan oleh Bupati Pati terhadap Kasultanan Mataram ditunjukkan dengan sikapnya yang tidak mau membayar upeti dan tidak mau tunduk kepada perintah Sultan Mataram. Sikap tersebut ditandai dengan berkali-kali tidak hadir pada saat pisowanan agung yang digelar oleh Sultan. Untuk mengetahui kebenaran itu maka dikirimlah telik sandi ke Pati, Jepara dan daerah-daerah lain yang dianggap rawan tersebut. Setelah telik sandi dikirim ke tempat kerusuhan tersebut kemudian melaporkan kebenaran informasi kepada Sultan Mataram.
Atas kebenaran laporan tersebut Sultan Mataram kemudian memerintahkan para perwiranya untuk menumpas huru hara dan kraman di sekitar lerang pegunungan Muria.
Mendengar berita tentang keadaan yang sangat merisaukan dan membahayakan Kasultanan Mataram ini, maka Rr. Ayu Semangkin sebagai salah satu dari Senopati Putri pada waktu Ratu Kalinyamat terketuk dan terpanggil hatinya turut menyelesaikan berbagai macam permasalahan yang menyangkut keamanan di wilayah lereng pegunungan Muria. Rr. Ayu Semangkin merasa berutang budi dengan masyarakat di wilayah Jepara karena bertahun-tahun beliau hidup dan dibesarkan di istana Kalinyamatan serta telah digembleng berbagai ilmu kanuragan, ilmu keprajuritan dan ilmu spriritual.
Selain berbagai kerusuhan dan huru-hara juga terjadi di sekitar Mayong, Jepara. Pada permulaan abad 17, Pati Pesantenan yang dipimpin oleh Bupati Wasis Joyo Kusumo (Bupati Pragola Pati II) bermaksud membangkang mengadakan “kraman” dari kekuasaan Sultan di Mataram. Pembangkangan yang dilakukan oleh Bupati Pati terhadap Kasultanan Mataram ditunjukkan dengan sikapnya yang tidak mau membayar upeti dan tidak mau tunduk kepada perintah Sultan Mataram. Sikap tersebut ditandai dengan berkali-kali tidak hadir pada saat pisowanan agung yang digelar oleh Sultan. Untuk mengetahui kebenaran itu maka dikirimlah telik sandi ke Pati, Jepara dan daerah-daerah lain yang dianggap rawan tersebut. Setelah telik sandi dikirim ke tempat kerusuhan tersebut kemudian melaporkan kebenaran informasi kepada Sultan Mataram.
Atas kebenaran laporan tersebut Sultan Mataram kemudian memerintahkan para perwiranya untuk menumpas huru hara dan kraman di sekitar lerang pegunungan Muria.
Mendengar berita tentang keadaan yang sangat merisaukan dan membahayakan Kasultanan Mataram ini, maka Rr. Ayu Semangkin sebagai salah satu dari Senopati Putri pada waktu Ratu Kalinyamat terketuk dan terpanggil hatinya turut menyelesaikan berbagai macam permasalahan yang menyangkut keamanan di wilayah lereng pegunungan Muria. Rr. Ayu Semangkin merasa berutang budi dengan masyarakat di wilayah Jepara karena bertahun-tahun beliau hidup dan dibesarkan di istana Kalinyamatan serta telah digembleng berbagai ilmu kanuragan, ilmu keprajuritan dan ilmu spriritual.
Rr. Ayu Semangkin
dengan keteguhan hatinya untuk turut serta menumpas huru-hara dan “kraman” yang
dilakukan oleh Bupati Pati Wasis Joyo Kusumo beserta para sorengpati-sorengpati
pengikut Arya Penangsang. Darah keprajuritan dan keprawiraan yang mengalir
dalam jiwanya hal ini menyebabkan beliau berkeinginan untuk turun di
tengah-tengah palagan dan memimpin sendiri penumpasan tersebut. Keteguhan
hatinya untuk menjadi senopati perang melawan Bupati Pati dan para
sorang-soreng pati pengikut Aryo Penangsang ini disampaikannya sewaktu ada
pisowanan agung / musyawarah agung yang membahas tentang permasalahan gangguan
keamanan di lereng pegunungan Muria.
Pada pertemuan ini Rr.
Ayu Semangkin memohon ijin untuk menumpas kraman tersebut tetapi Sultan Mataram
tidak memperkenankan turut dalam penumpasan tersebut karena mengkhawatirkan
keselamatannya. Namun Rr. Ayu Semangkin mendesak dan meyakinkan kepada sultan
hingga akhirnya merestui dan mengijinkan untuk turut menumpas huru hara dan
kraman tersebut. Setelah mendapatkan ijin dan restu dari Sultan Mataram maka
Rr. Ayu Mas Semangkin pergi ke tengah-tengah palagan dengan didampingi oleh dua
orang tamtama perang yang sakti mandraguna yakni Ki Brojo Penggingtaan dan Ki
Tanujayan.
Selain rombongan
prajurit dari Rr. Ayu Semangkin, Panembahan Senopati juga mengirimkan empat
perwira terbaiknya guna membantu Rr. Ayu Semangkin yang dikhususkan untuk
menumpas kraman yang dilakukan oleh Bupati Pati Wasis Joyo Kusumo. Bupati Pati
dikenal sebagai salah satu seorang yang memiliki ilmu kanuragan yang tinggi dan
daya kesaktian yang menakjubkan serta memiliki pusaka “Kere Wojo” rampasan dari
“Baron Sekeder” yang dapat menambah kesaktiannya dalam pepatah Jawa “Ora tedhas
Tapak Palune Pandhe sisaning gurendo”. Keempat perwira masing-masing Kanjeng
Raden Tumenggung Cinde Amoh, Kanjeng Tumenggung Roro Meladi, orang menyebut Roro
Molo, Kajeng Raden Tumenggung Candang Lawe orang menyebut Raden Slendar,
Kanjeng Raden Tumenggung Samirono, orang menyebut Raden Sembrono. Keempat
perwira beserta para prajurit dan pasukannya setelah mendapatkan tugas dan
restu dari Kanjeng Sultan kemudian segera berangkat ke medan perang.
Keempat perwira tersebut mendapatkan tugas masing-masing sesuai dengan strategi yang digunakan dalam berperang. Suro Kadam mendapat tugas sebagai penunjuk jalan dan sekaligus sebagai prajurit telik sandi. Sebagai prajurit Telik Sandi Suro Kadam bertugas untuk sebagai mata-mata. Agar berhasil dalam menjalankan tugas maka dia mengadakan penyamaran dan bergabung dengan masyarakat. Suro Kadam menjalankan tugasnya dengan penuh keberanian dan kehati-hatian. Suro Kadam dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh Suro Kerto adik kandungnya sendiri. Atas keberanian dan kehati-hatian tersebut Suro Kadam dapat memberikan informasi yang tepat tentang keberadaan Bupati Wasis Joyo Kusumo beserta pasukannya.
Dengan informasi yang tepat inilah keempat perwira dari Kasultanan Mataram kemudian mengadakan koordinasi, bermusyawarah untuk mengatur strategi perangnya agar dapat mengalahkan pasukan Bupati Pati Wasis Joyo Kusumo. Berkat kejituan strategi perang yang digunakan dan semangat dari para prajurit Mataram untuk memenangkan peperangan maka dalam waktu yang cukup singkat Bupati Wasis Joyo Kusumo dan pasukannya dapat ditakukkan.
Sepulang dari peperangan, para prajurit bersemayam / mesanggrah di Kademangan Sukolilo. Saat-saat itu bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW, tanggal 12 Maulud. Para prajurit terbiasa memperingati di setiap tanggal 12 Maulud di Keraton Mataram diadakan upacara Sekaten untuk itu mereka mengadakan upacara Skatenan di Sukolilo, sebagaimana adat Kasultanan setiap tahunnya. Keempat perwira tersebut kemudian mohon ijin untuk tinggal di Sukolilo guna mengawasi para pengikut Bupati Pati Wasis Joyo Kusumo. Panembahan Senopati mengijinkan membangun tenpat tinggal disana serta memberikan “palilah” (ijin), di Kademangan Sukolilo untuk melestarikan Maulid Nabi dengan mengadakan perayaan yang mirip Skaten yang disebutnya Meron, yang dalam bahasa Jawa dimaksudkan ramene tiron-tiron.
Sedangkan tempat berkumpulnya para Tumenggung untuk bertirakat sekarang dikeramatkan dengan nama Talang Tumenggung, sedang daerah tempat mesanggrah, sekarang menjadi Dukuh Pesanggrahan. Diantara keempat Tumenggung tersebut ada yang meninggal di Kademangan Sukolilo, yaitu Kanjeng Raden Tumenggung Cinde Among dan dimakamkan di makan Sentono Pesanggrahan (300 meter arah Timur Laut Talang Tumenggung)
Keempat perwira tersebut mendapatkan tugas masing-masing sesuai dengan strategi yang digunakan dalam berperang. Suro Kadam mendapat tugas sebagai penunjuk jalan dan sekaligus sebagai prajurit telik sandi. Sebagai prajurit Telik Sandi Suro Kadam bertugas untuk sebagai mata-mata. Agar berhasil dalam menjalankan tugas maka dia mengadakan penyamaran dan bergabung dengan masyarakat. Suro Kadam menjalankan tugasnya dengan penuh keberanian dan kehati-hatian. Suro Kadam dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh Suro Kerto adik kandungnya sendiri. Atas keberanian dan kehati-hatian tersebut Suro Kadam dapat memberikan informasi yang tepat tentang keberadaan Bupati Wasis Joyo Kusumo beserta pasukannya.
Dengan informasi yang tepat inilah keempat perwira dari Kasultanan Mataram kemudian mengadakan koordinasi, bermusyawarah untuk mengatur strategi perangnya agar dapat mengalahkan pasukan Bupati Pati Wasis Joyo Kusumo. Berkat kejituan strategi perang yang digunakan dan semangat dari para prajurit Mataram untuk memenangkan peperangan maka dalam waktu yang cukup singkat Bupati Wasis Joyo Kusumo dan pasukannya dapat ditakukkan.
Sepulang dari peperangan, para prajurit bersemayam / mesanggrah di Kademangan Sukolilo. Saat-saat itu bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW, tanggal 12 Maulud. Para prajurit terbiasa memperingati di setiap tanggal 12 Maulud di Keraton Mataram diadakan upacara Sekaten untuk itu mereka mengadakan upacara Skatenan di Sukolilo, sebagaimana adat Kasultanan setiap tahunnya. Keempat perwira tersebut kemudian mohon ijin untuk tinggal di Sukolilo guna mengawasi para pengikut Bupati Pati Wasis Joyo Kusumo. Panembahan Senopati mengijinkan membangun tenpat tinggal disana serta memberikan “palilah” (ijin), di Kademangan Sukolilo untuk melestarikan Maulid Nabi dengan mengadakan perayaan yang mirip Skaten yang disebutnya Meron, yang dalam bahasa Jawa dimaksudkan ramene tiron-tiron.
Sedangkan tempat berkumpulnya para Tumenggung untuk bertirakat sekarang dikeramatkan dengan nama Talang Tumenggung, sedang daerah tempat mesanggrah, sekarang menjadi Dukuh Pesanggrahan. Diantara keempat Tumenggung tersebut ada yang meninggal di Kademangan Sukolilo, yaitu Kanjeng Raden Tumenggung Cinde Among dan dimakamkan di makan Sentono Pesanggrahan (300 meter arah Timur Laut Talang Tumenggung)
Berkat kerjasama
Pasukan Rr. Ayu Semangkin dan Tumenggung Sukolilo beserta para prajurit dan
pengikut-pengikutnya maka Bupati Pati Wasis Joyo Kusumo dapat ditumpas.
Kemudian keempat perwira tersebut memutuskan untuk menetap dan membangun Desa
Sukolilo dan sekitarnya. Sedangkan Rr. Ayu Semangkin melanjutkan perjuangan di
Mayong untuk menumpas para perusuh dan pengikut setia Arya Penangsang yang
senantiasa membuat huru hara dan kerusuhan seperti perampokan, pemerkosaan, dan
pembunuhan sehingga membuat keresahan dan ketidaktentraman masyarakat di Mayong
dan sekitarnya.
Berkat semangat dan
kegigihan serta kemahiran dari para prajurit Mataram lebih-lebih Lurah Tamtono
Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan. Maka pasukan Rr. Ayu Semangkin dalam
waktu yang cukup singkat dapat menumpas para perusuh sehingga keadaan menjadi
tenang dan pulih kembali seperti sedia kala. Namun Rr. Ayu Mas Semangkin masih
khawatir terjadi kerusuhan lagi sehingga beliau beserta para pengikutnya untuk
mendirikan pesanggrahan dan sekaligus membabat hutan di Mayong Lor sebagai
tempat tinggalnya.
6. MENDIRIKAN PADEPOKAN
DI WILAYAH MAYONG
Berkat kegigihan,
kedigjayaan, keperwiraan dan ketangkasan dalam olah kanuragan Rr. Ayu Mas
Semangkin dalam memimpin pasukannya sehingga para perusuh perlawanan dalam
waktu singkat dapat dipatahkan bahkan menyerah dan bertekuklutut dihadapan para
prajurit mataram. Suasana masyarakat diwilayah lereng pegunungan Muria
khususnya di daerah Mayong dan sekitarnya mulai kembali aman, dan tentram.
Kehidupan masyarakat kembali seperti semula karena masyarakat telah dapat
beraktifitas / bekerja dengan tentram.
Tugas suci Rr. Ayu Mas
Semangking beserta pasukannya telah dilaksanakan dengan cepat dan sukses, namun
beliau dan pasukannya tidak segera pulang ke Mataram , mengingat serangan musuh
mungkin bisa terulang lagi maka Kanjeng Ibu Mas Semangking mengerahkan kepada
kedua tamtama dan para prajuritnya untuk sementara waktu menumpang di sebuah di
padepokan yaitu di sebuah tempat yang dihuni oleh kakek tua. Penghuni padepokan
ini adalah seorang pengembara dari pulau Dewata (Bali) dari Singaraja maka
tempat tersebut sampai saat sekarang disebut desa Singorojo. Letak desa
tersebut berjarak kurang lebih dua kilometer arah utara dari desa Pelemkerep
Mayong.
Kakek tua penghuni
padepokan tersebut bernama “Idha Gurnandhi” yang lebih dikenal oleh masyarakat
dengan sebutan Ki Datuk Singorojo. Selama rombongan prajurit Mataram berada di
tempat Ki Datuk Singorojo, perusuh-perusuh tidak dapat berani datang lagi.
Kemudian Kanjeng Ibu Mas yang didampngi oleh kedua tamtama dan dikawal oleh
beberapa prajurit Mataram memutuskan untuk tidak kembali ke Mataram. Kanjeng
Ibu Mas bersama kedua tamtama (Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujaya) yang
dikawal oleh prajurit Mataram ingin menetap di daerah baru. Dari tempat Ki
Datuk Singorojo, rombongan prajurit Mataram bersama Kanjeng Ibu Mas Semangkin
dan kedua Lurah tamtomo menuju kearah selatan kurang lebih 2 kilometer dari
Desa Singorojo dan sampailah rombongan tersebut di daerah yang agak landai dan
masih ditumbuhi oleh pohon semak-semak belukar.
Kanjeng Ibu Mas
Semangkin bersama rombongan memutuskan untuk membabat hutan tersebut dan dibagi
menjadi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari Rr. Ayu Semangkin dan Ki
Brojo Penggingtaan membabat hutan diwilayah utara. Sedankan dibagian selatan
dipimpin oleh Ki Tanujayan bersama sebagian prajuritnya.
Pohon-pohon mulai
ditebang semak belukar dibakar dan puing-puing disingkirkan. Tanpa terasa
pekerjaan tersebut telah memakan waktu berbulan-bulan lamanya. Setelah semua
itu dikerjakan maka kedua kelompok rombongan prajurit Mataram tersebut
memutuskan untuk tetap tinggal di daerah baru tersebut. Daerah baru tersebut
kemudian diberi nama desa ”Mayong”.
Daerah baru bagian
utara Kanjeng Ibu Mas yang didampingi ki Brojo penggingtaan bersama prajurit
Mataram mendirikan sebuah padepokan sebagai tempat tinggal sedangkan di daerah
baru bagian selatan Ki Tanujayan bersama prajurit Mataram atas perintah Kanjeng
Ibu Mas juga mendirikan padepokan sebagai tempat tinggal.
Di daerah baru tersebut
kedua Lurah Tamtama mengajarkan ilmu-ilmunya baik ilmu kanuragan maupun ilmu
kerohanian, budi luhur, kesucian batin terhadap sesama dan suka menolong,
penyabar serta rendah hati dan masih banyak lagi mengenai hal-hal menuju
kebaikan. Lambat laun berita tersebut tersiar sampai kedaerah-daerah lainnya.
Akhirnya banyak orang yang berdatangan untuk meminta pertolongan atau datang
untuk menimba ilmu serta banyak pula yang dating berguru bahkan adapula yang
datang untuk menetap menjadi murid dan penghuni baru ditempat itu.
Oleh karena kearifan
dan kebijaksanaan Kanjeng Mas juga Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanunjayan
bersama prajurit-prajurit ditempat baru masing-masing, yang pada masa
sebelumnya sering terjadi keganasan perampok maka sejak dihuninya daerah
tersebut oleh penghuni baru kerusuhan-kerusuhan tidak terjadi lagi. Berkat
kebesaran ketinggian budi serta kearifan Kanjeng Ibu Mas bersama kedua Tamtama
Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanunjayan maka mereka diangkat menjadi sesepuh
dan cikal bakal dari masyarakat Mayonr Lor dan Mayong Kidul.
Setelah beberapa lama singgah di padepokan Datuk Singorojo, Roro Ayu Semangkin bersama dengan Ki Lurah Tamtama, Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan memutuskan untuk tidak kembali ke Mataram dan mendirikan Padepokan di Mayong Lor dan Mayong Kidul. Setelah padepokan berdiri banyak murid-murid yang datang dari wilayah Jepara, Kudus, Demak, dan Pati untuk berguru kanuragan dan ilmuilmu kejawen serta ilmu-ilmu agama kepada tokoh-tokoh tersebut.
Para murid padepokan dari Roro Ayu Semangkin, Ki Brojo Pengingtaan dan Ki Tanujayan selain berguru kepadanya juga banyak berguru di pdepokan Datuk Singorojo yang kebetulan ahli dalam pembuatan ukit-ukiran dan keramik. Keahlian Datuk Singorojoini kemudian ditularkan kepada murid-murid di padepokan tersebut. Dalam waktu singkat padepokan tersebut banyak kedatangan murid untuk berguru ilmu kanuragan, kejawen, keagamaan dan yang terpenting yaitu belajar untuk membuat gerabah. Sejalan dengan perjalanan waktu muncul perkampungan Undagen di desa Mayong Lor yang mengembangkan gerabah, genteng, keramik dan seni ukir. Dalam perkembanganyya maka pada tahun 1937 Belanda mendirikan pasar Mayong yang kini telah yerbakar untuk menampung berbagai macam barang-barang kerajinan gerabah yang digunakan untuk kepentingan rumah tangga dan berbagai macam mainan seperti manuk-manukan, gajah-gajahan, sapi-sapian, terbang-terbangan dan sebagainya. Keahlian masyarakat Mayong Lor dalam membuat gerabah dan teknik pembuatan keramik maka di Mayong Lor didirikan pabrik keramik. Selain itu Mayong Lor juga dijadikan pusat kawedanan, kecamatan dan di Kecamatan Mayong inipun telah lahir seorang pahlawanan wanita yang bernama “ RA. Kartini” yang kini tempat ari-arinya telah dibangun di dekat pendopo kecamatan Mayong.
Berdasarkan riwayat tentang Kanjeng Ibu Mas yang dikisahkan oleh para pinisepuh bahwa sejak kecil Rr. Ayu Mas Semangkin telah terbiasa dengan pola hidup yang bersahaja dan bahkan cenderung dengan tata kehidupan rakyat kecil serta kehidupan yang dilandaskan atas ketentuan kepercayaan yang beliau anut. Bentuk kepasrahan diri kepada Tuhan YME secara tulus menjadi suatu nafas kehidupan yang senantiasa beliau pelihara hingga akhit hayatnya. Dengan ketulusan, kejujuran dan kesucian batin yang senantiasa beliau pelihara dalam kehidupannya telah menempa dan membentuk jiwa beliau yang benar-benar rendah hati jujur berjiea tulus penyabar dan pengayom bagi masyarakat khususnya masyarakat bawah.
Setelah beberapa lama singgah di padepokan Datuk Singorojo, Roro Ayu Semangkin bersama dengan Ki Lurah Tamtama, Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan memutuskan untuk tidak kembali ke Mataram dan mendirikan Padepokan di Mayong Lor dan Mayong Kidul. Setelah padepokan berdiri banyak murid-murid yang datang dari wilayah Jepara, Kudus, Demak, dan Pati untuk berguru kanuragan dan ilmuilmu kejawen serta ilmu-ilmu agama kepada tokoh-tokoh tersebut.
Para murid padepokan dari Roro Ayu Semangkin, Ki Brojo Pengingtaan dan Ki Tanujayan selain berguru kepadanya juga banyak berguru di pdepokan Datuk Singorojo yang kebetulan ahli dalam pembuatan ukit-ukiran dan keramik. Keahlian Datuk Singorojoini kemudian ditularkan kepada murid-murid di padepokan tersebut. Dalam waktu singkat padepokan tersebut banyak kedatangan murid untuk berguru ilmu kanuragan, kejawen, keagamaan dan yang terpenting yaitu belajar untuk membuat gerabah. Sejalan dengan perjalanan waktu muncul perkampungan Undagen di desa Mayong Lor yang mengembangkan gerabah, genteng, keramik dan seni ukir. Dalam perkembanganyya maka pada tahun 1937 Belanda mendirikan pasar Mayong yang kini telah yerbakar untuk menampung berbagai macam barang-barang kerajinan gerabah yang digunakan untuk kepentingan rumah tangga dan berbagai macam mainan seperti manuk-manukan, gajah-gajahan, sapi-sapian, terbang-terbangan dan sebagainya. Keahlian masyarakat Mayong Lor dalam membuat gerabah dan teknik pembuatan keramik maka di Mayong Lor didirikan pabrik keramik. Selain itu Mayong Lor juga dijadikan pusat kawedanan, kecamatan dan di Kecamatan Mayong inipun telah lahir seorang pahlawanan wanita yang bernama “ RA. Kartini” yang kini tempat ari-arinya telah dibangun di dekat pendopo kecamatan Mayong.
Berdasarkan riwayat tentang Kanjeng Ibu Mas yang dikisahkan oleh para pinisepuh bahwa sejak kecil Rr. Ayu Mas Semangkin telah terbiasa dengan pola hidup yang bersahaja dan bahkan cenderung dengan tata kehidupan rakyat kecil serta kehidupan yang dilandaskan atas ketentuan kepercayaan yang beliau anut. Bentuk kepasrahan diri kepada Tuhan YME secara tulus menjadi suatu nafas kehidupan yang senantiasa beliau pelihara hingga akhit hayatnya. Dengan ketulusan, kejujuran dan kesucian batin yang senantiasa beliau pelihara dalam kehidupannya telah menempa dan membentuk jiwa beliau yang benar-benar rendah hati jujur berjiea tulus penyabar dan pengayom bagi masyarakat khususnya masyarakat bawah.
Rasa rendah hati ini
dibuktikan dengan kerel;aan beliau yang jasadnya hanya dikebumikan disuatu makam
di desa kecil desa Mayong Lor yang letaknya sangat jauh dari kemegahan dari
makam kerbat keratin. Dengan demikian bukanlah suatu hal yang mustahil apabila
beliau termasuk salah satu hamba yang dekat dan dikasihi Allah Yang Maha Kuasa.
7. RORO AYU MAS
SEMANGKIN WAFAT
Setelah mendirikan
Padepokan Agung di Mayong bersama Ki Brojo Penggingtaan dan Ki Tanujayan. Rr.
Ayu Semangkin kemudian memutuskan untuk menetap di desa Mayonglor dan
mendirikan pesanggrahan serta rumah persinggahan di Mayonglor yang kini bekasnya
masih ada tetapi hanya tinggal puing-puingnya. Beliau mengabdikan dirinya untuk
bersama-sama masyarakat membangun desa Mayong Lor maupun Mayong Kidul. Selain
beliau bertempat tinggal di Mayong Lor sesekali juga sowan di Kasultanan
Mataram. Dan setelah beliau mengenalkan putranya bernama Danang Syarif dan
Danang Sirokol kepada ayahhandanya Panembahan Senopati dan akhirnya kedua
putranya ini diangkat menjadi senopati perang. Tak lama kemudian beliau wafat
dan dimakamkan di Desa Mayong Lor.
Masyarakat Mayong
berkeyakinan bahwa kesucian batin dan kedekatan Kanjeng Ibu Mas dengan sang
pencipta, maka banyak warga masyarakat yang memohon kepada Allah SWT dengan
berwasilah kepada Kanjeng Ibu Mas. Permohonan umat manusia kepada Tuhannya
dengan cara berwasilah kepada leluhur yang dianggap suci dan dekat kepada Allah
tidak dilarang menurut agama Islam. Permohonan ini terjadi karena merasa diri
mereka tidak sebersih dan sesuci para leluhur yang diwasilahilah ini diharapkan
agar hajat mereka kehendaki dapat terkabul.
Berdasarkan anggapan masyarakat tentang diri Rr. Ayu Mas Semangkin sebagai seorang hamba dan kekasih Allah yang dipilih karena sepanjang hidupnya mengabdikan dirinya demi keamanan, ketentraman masyarakat di wilayah Mayong serta turut membangun kehidupan masyarakat menuju kesejahteraan. Untuk menghormati jasanya ini maka beliau dijadikan sebagai cikal bakal dan dimakamkan di Dukuh Gleget Desa Mayonglor yang kini setiap hari dan hari-hari tertentu makamnya dijadikan sebagai tempat para peziarah, dari berbagai golongan masyarakat. Dan setiap tahunnya tepat pada tanggal 10 Suro / Muharram diadakan upacara bukak luwur.
8. MITOS ATU RITUAL ATAU KEGIATAN-KEGIATAN DI MAKAM RORO AYU MAS SEMANGKIN SAMPAI SEKARANG
Berdasarkan anggapan masyarakat tentang diri Rr. Ayu Mas Semangkin sebagai seorang hamba dan kekasih Allah yang dipilih karena sepanjang hidupnya mengabdikan dirinya demi keamanan, ketentraman masyarakat di wilayah Mayong serta turut membangun kehidupan masyarakat menuju kesejahteraan. Untuk menghormati jasanya ini maka beliau dijadikan sebagai cikal bakal dan dimakamkan di Dukuh Gleget Desa Mayonglor yang kini setiap hari dan hari-hari tertentu makamnya dijadikan sebagai tempat para peziarah, dari berbagai golongan masyarakat. Dan setiap tahunnya tepat pada tanggal 10 Suro / Muharram diadakan upacara bukak luwur.
8. MITOS ATU RITUAL ATAU KEGIATAN-KEGIATAN DI MAKAM RORO AYU MAS SEMANGKIN SAMPAI SEKARANG
Berbagai kegiatan rutin
di makam Kanjeng Ibu Mas Semangkin dapat dijumpai dan dilihat yang dilakukan
oleh warga masyarakat dari berbagai lapisan, diantaranya yang menonjol adalah
sebagai berikut:
a. Kegiatan pada hari
Kamis sore
Banyak para peziarah
yang datang dari berbagai lapisan masyarakat dan dari penjuru desa dan kota,
pada umumnya para peziarah tersebut mengadakan selamatan di makam dan berdoa
menurut cara dan keyakinan masing-masing yang dipandu oleh Juru Kunci Makam.
Dari hari ke hari jumlah para peziarah semakin bertambah. Tidak kurang dari 50 orang
yang khusus berziarah ke Makam Kanjeng Ibu Mas Semangkin pada setiap Kamis
sore.
b. Kegiatan pada hari
Kamis Malam (Malam Jum’at)
Mulai pukul 22.00 WIB,
banyak warga masyarakat (khususnya laki-laki) yang datang dari berbagai penjuru
desa dan kota untuk melakukan tirakatan dan bersemadi di dalam makam Kanjeng
Ibu Mas Semangkin. Dari pengamatan yang dilakukan, tidak kurang dari 10
(sepuluh) orang yang datang untuk melakukan tirakatan dan bersemadi pada setiap
Malam
c. Kegiatan pada setiap Malam Jum’at kliwon dan Jum’at Wage
c. Kegiatan pada setiap Malam Jum’at kliwon dan Jum’at Wage
Pada hari-hari tersebut
diatas, dimulai sekitar pukul 20.30 WIB diadakan pengajian dan tahlil
bersama-sama yang dilanjutkn dengan membaca Sholawat Nariyah. Anggota Sholawat
Nariyah tercatat sebanyak tidak kurang dari 65 orang, tetapi yang hadir pada
hari-hari tersebut tercatat berkisar antara 45 sampai dengan 50 orang
d. Kegiatan pada Setiap
Tanggal 10 sampai dengan 11 Muharram
Sebagai penghormatan
warga desa kepada almarhumah Kanjeng Ibu Mas Semangkin, maka pada setiap
tanggal tersebut diatas diadakan peringatan hari wafatnya Kanjeng Ibu Mas
Semangkin (Haul). Dari catatan Pengurus menunjukkan adanya peningkatan jumlah
pengunjung pada setiap diadakannya haul.
Haul yang diselenggarakan secara terbuka untuk umum ini baru dirintis sejak tahun 1999 M. Meskipun peringatan-peringatan hari wafatnya Kanjeng Ibu Mas Semangkin ini belum lama dipublikasikan, tetapi catatan pengurus makam menunjukkan adanya peningkatan jumlah pengunjung yang sangat mengejutkan, karena pada haul Kanjeng Ibu Mas Semangkin tahun 2001 tidak kurang dari 4.000 pengunjung yang hadir. Pada haul tahun-tahun sebelumnya hanya tercatat tidak lebih dari 1.500 pengunjung. Kenyataan ini menunjukkan betapa semakin sadarnya warga masyarakat dalam menghargai dan menghormati para leluhurnya.
Haul yang diselenggarakan secara terbuka untuk umum ini baru dirintis sejak tahun 1999 M. Meskipun peringatan-peringatan hari wafatnya Kanjeng Ibu Mas Semangkin ini belum lama dipublikasikan, tetapi catatan pengurus makam menunjukkan adanya peningkatan jumlah pengunjung yang sangat mengejutkan, karena pada haul Kanjeng Ibu Mas Semangkin tahun 2001 tidak kurang dari 4.000 pengunjung yang hadir. Pada haul tahun-tahun sebelumnya hanya tercatat tidak lebih dari 1.500 pengunjung. Kenyataan ini menunjukkan betapa semakin sadarnya warga masyarakat dalam menghargai dan menghormati para leluhurnya.
e. Kepercayaan Rakyat
(MITOS RAKYAT)
Terkait dengan cerita
Ibu Mas Semangkin terdapat perilaku dan kepercayaan yang hidup di kalangan
masyarakat Mayong Lor. Kepercayaan yang terkait dengan Ibu Sumangkin antara
lain Di atas makam Ibu Mas Semangkin sering terlihat fenomena gaib. Jika
terlihat bola api menunjukkan ada musibah. Bola api merah berjalan di atas
rumah makam Fenomena tersebut sesekali terlihat di atas rumah makam Ibu
Semangkin. Fenomena tersebut pernah terlihat ketika terjadi perkelahian antar
desa yang melibatkan Desa Mayong Lor.
Masyarakat Mayong Lor
sebagian juga percaya orang-orang perempuan tidak boleh memasuki komplek makam
dengan memakai baju warna hijau pupus daun. Warna tersebut adalah kesukaan Ibu
Mas Semangkin ketika masih hidup. Pantangan memakai baju warna pupus bagi
perempuan diperhatikan oleh sebagian masyarakat Mayong Lor sampai sekarang
Patahnya cabang pohon
besar ( bergat ) dilingkungan makam Ibu Mas Semangkin, setiap ada calon
pemimpin desa (petinggi) memberikan isyarat tokoh yang akan terpilih. Kearah
calon yang mana cabang pohon itu patah maka calon tersebut yang akanterpilih.
Masyarakat setempat percaya bahwa peristiwa itudapat dilihat beberapa kali pada
saat pemilihan kepala desa (petinggi).
Ketoprak atau seni pertunjukan dilarang memainkan peran tokoh ibu Mas Sumangkin. Jika hal itu dilanggar maka besaar kemungkinan penyelenggara dan pemainnya akan mendapat
Ketoprak atau seni pertunjukan dilarang memainkan peran tokoh ibu Mas Sumangkin. Jika hal itu dilanggar maka besaar kemungkinan penyelenggara dan pemainnya akan mendapat
mushibah. Oleh karena
itu penduduk sampai sekarang tidak bernai memainkan peran Ibu Mas Semangkin
pada pertunjukan seni Ketoprak. Pada saat ini tokoh pemerintahan bupati, camat,
petinggi dan kiay/ ulama.menghadiri acara buka luwur dan khaul Ibu Mas
Semangkin. Acara khaul juga dihadiri keturunan Sunan Kalijaga di Jepara dan
sekitarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar